“Oke aku tau
kita barusan aja deket walau kita udah lama kenal. Tapi aku mau ngomong sesuatu
sama kamu.”
“Ya udah sih
ngomong aja Gus. Emang kenapa?”
Gusti memegang
jemari tangan gue, “Will you be my girl friend?”
Mata gue
langsung membelolok menatapnya yang duduk disamping gue melihat lalu lalang
kendaraan yang melintas dari trotoar di sebuh jalan di Kota ini.
“Kamu serius Gus?”
gue menatap matanya dalam dalam. Seolah gue tak percaya dengan yang barusan dia
katakan.
Dia berbalik menatapku
dengan mata yang seolah meyakinkan gue kalu dia bersungguh-sungguh, “Kamu
kira?”
“Gus sumpah aku
ga nyangka.” Senyum mengembang dibibir gue menatap kesungguhannya yang
terpancar dari mata sipitnya.
“Lalu?”
“Gusti, aku memang
udah suka sama kamu dari pertama kali
kita ketemu di pensi malam itu. Dan benar aku menginginkan kamu.”
“Jadi? Kamu
mau?”
“Ya iyalah Gusti.
Aku nunggu kamu 6 bulan Gustiiiii.”
“Yakin nih?”
Gusti tak kuasa menahan rasa malunya dengan menahan tawanya.
Gue bersandar
dibahu sebelah kanannya dan berbisik, “Iya aku mau jadi pacar kamu.”
Biarkan malam
Sabtu ini menjadi malam Sabtu yang tak pernah kita lupakan. Biarkan jalan di
Kota ini menjadi sebuah tempat teromantis yang tak pernah kita lupakan. Biarkan
bintang malam itu menjadi saksi awal hubungan kasih ini.
Hampir gue ga
bisa tidur malam itu. Gue teringat pertama kita bertemu di acara pentas seni di
kampusnya. Lalu kita dipertemukan oleh hujan disebuah party temen kita. Bahkan
Tuhan memberikan sebuah moment yang tak pernah gue lupakan sampai saat ini.
Sampai pada akhirnya gue bisa bersamanya. Bersama seorang lelaki tinggi,
berkawat gigi ini.
“Selamat pagi sayang.”
“Selamat pagi
juga.” Terdengar suaranya yang gue tau pasti dia baru bangun tidur.
“Baru bangun kan
kamu?”
“Iya. Eh ini
ngga ngimpi kan ya kamu telfon akunya?”
“Ya ngga lah
sayang. Ih aku baru pertama telepon cowok manggil sayang hlo.”
“La
mantan-mantan kamu dulu kamu panggil apa?”
“Kamu pacar
pertama aku sayang.”
Gusti
meninggikan suaranya, “Apaaa?”
“Kamu ga tau ya?
Udah sana mandi. Sarapan.”
“Iya sayang.
Keluar yuk siang ini?”
“Ya udah. Bbm
aja. Aku mandi dulu. Bye.” Telepon gue matiin.
Pukul sebelas
lebih Gusti udah ada didepan rumah gue mengendarai motor putihnya dengan jacket
Adidas hijau membungkus kulit putihnya.
“Masuk dulu
sini.”
“Mamah, Papah
kamu mana?”
Gue berjalan
menuju dapur meninggalkan Gusti yang duduk diruang tamu, “Ibuk aku mau keluar
sama temen aku. Ini hlo mau pamitan.”
Ibu gue keluar
menghampiri Gusti, sedangkan ayah gue ada kerja bakti di lapangan perumahan. Gusti
terlihat malu-malu mencium tangan ibu gue, “Tante, mau main dulu sama Renata
sebentar.”
“Oh iya
hati-hatiya. Mau kemana?”
“Paling makan
sih tante.” Gusti menjawab pertanyaan nyokap gue sambil berjalan keluar pintu rumah
gue bebarengan sama nyokap gue.
Gue yang saat
itu mengenakan dress bunga-bunga sesuai perasaan gue yang berbunga-bunga
memboncengnya dengan sedikit canggung. Entah mengapa gue mendadak canggung
bareng dia.
“Ini kita mau
kemana ya?” Wayan membuka obrolan
setelah beberapa menit kita diam sepanjang jalan.
“La tadi
bilangnya makan?”
“Ya udah sih
makan pizza aja ya?”
Dia menambahkan
kecepatan motornya. Sontak gue memegang pinggangnya. Dan jantung gue berdetup
semakin kencang. Perasaan kalau gue bonceng cowok lain rasanya enggak gini-gini
amat. Ini rasa malu atau cinta atau apa? Setiap dekat dengannya jantung gue berdetak
semakin kencang.
Setelah memesan
menu yang kita mau, terjadi keheningan diantara kita berdua. Gue
malu mau ngomong duluan. Gue juga gugup mau ngomong sama dia. Semua
kegugupan gue, gue alihkan
dengan menekan-nekan tombol blackberry gue. Padahal engga ada bbm. Cuman lihat
recent update yang ada aja.
“Bbm sama siapa
hayo?” suaranya mengejutkanku.
“Engga kok.
Lihat recent update aja.”
“Oh ya, kamu
bilang tadi pagi ditelepon kalo aku pacar pertama kamu?”
Wajahnya sedikit
malu, gue matikan BB gue dan gue letakkan dimeja.
“Eh iya. Hehe
kenapa?”
“Masak iya?”
“Kamu tu engga
percayaan sih. Jujur nih aku sampek berdoa sungguh-sungguh sama Allah biar bisa
punya kamu.”
Dia menekuk
wajahnya. Gue tau dia malu. Muka putihnya berubah seperti tomat. Lucu.
Pesanan kita
datang, “makasih.” Kataku kepada pelayan restaurant.
Gue beraniin
suapin dia dengan sesendok ice cream strawberry yang gue pesen. Dia menerima
suapan gue.
“Kamu suka ice cream
strawberry ya?”
“Enggak. Aku
suka coklat. Cuman kali ini aku mau pesen yang strawberry.”
Dia berbalik
menyuapiku sesendok pasta yang dia pesan.
Kita
melewati masa-masa pacaran kita hampir 2 tahun. Padahal dulu gue berharap miliki
dia walau cuman 1 bulan. Ternyata Allah ngasih gue waktu bersama dia lebih dari 1 tahun. Bahkan
hampir 2 tahun. Guepun berjanji ga akan mutusin dia apapun yang terjadi. Selama
pacaran ini, gue selalu mempersiapkan hati kalau suatu saat dia ingin
mengakhiri hubungan ini.
Yang ada, selama
ini malah justru dia selalu buat gue seneng. Bahkan sekarang ini gue takut dia
ninggalin gue. Hal kecil yang biasa aja bisa dia buat luar biasa. Atau mungkin
gue yang berlebihan?
Gue tau suara
dia ga bagus. Tapi dia sering nyanyi buat gue.
“Lagu rindu ini
kuciptakan
Hanya untuk
Bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada
sederhana
Ijinkanku ungkap
segenap rasa dan kerinduan”
Walau suaranya
ga semerdu Sammy, gue suka kok dengerin dia nyanyi. Walau dia enggak pinter
main gitar, gue suka dengerin nada-nada petikan gitar yang dia
mainkan. Pokoknya gue suka semua yang ada sama dia. Dia juga lucu. Dia pandai
membuat lelucon. Atau kata-katanya yang nyleneh, yang asal ucap malah justru
memperlihatkan sosoknya yang memang benar-benar konyol.
Dan satu lagi
yang paling buat gue jatuh hati sama dia. Dia selalu ngingetin gue sholat.
Ngingetin gue puasa. Padahal dia sendiri engga ngejalani semua itu. Kalau kita
jalan di Mall atau kemana, dia mau nungguin gue shalat.
“Udah makan.
Udah nonton. Udah waktunya shalat asar juga. Kamu sholat aku tungguin deh.”
“Iya iya. Berdoa
dulu biar kamunya itu cepet taubat. Biar kamu mau kePura lagi. Sukanya kan kalo
disuruh mamahmu ke Pura kamu malah kabur.”
Dia ketawa
sambil mengacak-acak rambutku waktu kita jalan bareng di sebuah Mall.
Suatu hari dia datang
kerumah buat ngajak gue keluar. Tapi kali ini bukan jalan-jalan, bukan nonton,
bukan makan, bukan berenang. Dia ngajakin gue ke Pura. Sebuah Pura di Kota ini yang
penduduknya mayoritas seorang muslim.
“Tumben kamu ngajaknya
ke Pura. Alhamdulillah akhirnya sadar juga.” gue ketawa seneng.
Akhirnya dia ke
Pura juga. Selama ini dia ke Pura kalau sama bonyoknya. Kalau sendiri atau sama
gue enggak pernah. Kalau disuruh bonyoknya malah main.
“Aku mau
berdoa semoga kitanya langgeng. Mau berterimakasih Tuhan udah kirimkan cewek cuek bebek kayak kamu.”
Gue kaget dia
berkata seperti itu.
Kita masuk ke area
Pura. Gue duduk dengan sabar menunggunya. Seperti dia sabar nungguin gue
shalat. Gue lihat dia dengan khusyuknya berdoa. Menyatukan kedua telapak
tanganya. Menyematkan bunga kamboja ditengah kedua telapak tangannya. Kemudian
meletakkan tangannya diatas kepalanya.
“Kok tidak
beribadah mbak?” Seorang datang menghampiri gue yang sedang terpaku melihat
pacar gue beribadah. Seorang laki tua yang menggenakan pakaian putih-putih dan
berikat kepala kain bewarna emas.
“Saya seorang
muslim Pak.” Jawab gue lembut.
“Lalu mbak
mengapa disini?”
“Saya menunggu
pacar saya beribadah.”
Lelaki tua itu
melihat kearah Gusti. “Bagaimana bisa seorang Hinduism berpacaran dengan
seorang muslim?”
“Tuhan saya dan
Tuhannya yang menyatukan kita.” aku tersenyum.
“Bagaimana jika
kalian menikah nanti? Ini akan sulit.”
Gue terdiam. Gue
lihat lelaki tua itu. Gue berpikir jauh kedepan. Terbayangkan akan ada banyak
halangan nanti disana jika kita memang berjodoh dan menikah nantinya.
“Bagaimana
caranya nanti Tuhan saya dan Tuhannya menyatukan kita.”
Gusti
menghampiri kami. Lalu dia berpamitan kepada lelaki tua itu sebelum kami pergi.
Gusti mengajak gue makan dulu sebelum mengantar gue balik kerumah.
“Tadi ngobrol
apa aja sama bapak itu?”
“Dia tanya kok
bisa seorang hindu berpacaran dengan seorang muslim. Katanya kalau nikah nanti
akan banyak halangannya.” jawab gue datar.
“Nikah? Kok aku
ga mikir sampe sana ya?” jawabnya dengan nada datar juga.
“Kita baru dua
tahun jalan. Masak iya mau mikirin nikah? Aku aja baru kepikiran waktu bapaknya
bilang tadi.” gue kunyah kentang goreng yang ada ditangan gue.
“Iya juga sih.
Tapi bapak itu bener juga. Tapi ya udah lah. Kalau emang kitanya jodoh walau
kita beda keyakinan, suatu saat kita akan bersatu.” jawab dia santai yang
sedang memotong steak dipiringnya.
Gue ketawa
denger jawabannya, “Tumben ngomongnya bijak.”
Dia juga ketawa
menyadari omongannya yang bijak. Yang jarang sekali dia ucapkan.
Emang gue sadar
dari awal pacaran kalau akan ada banyak halangan kalau suatu saat nanti kita
akan mengikat ikrar dalam sebuah pernikahan. Memang kita berbeda. Tapi bukankah
beda diciptakan Tuhan agar terlihat indah seperti warna-warna pelangi? Mungkin
gue engga bisa mengajak Gusti sekeyakinan dengan gue, dan Gusti tidak akan
pernah bisa mengajak gue sekeyakinan dengannya. Lalu bagaimana jika Tuhan gue
atau Tuhannya memang mempersatukan kita dalam perbedaan keyakinan ini? Apa
sepasang manusia yang berbeda tempat ibadah tidak boleh bersatu?