Sabtu, 26 Januari 2013

Ini Cinta Kita


“Oke aku tau kita barusan aja deket walau kita udah lama kenal. Tapi aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Ya udah sih ngomong aja Gus. Emang kenapa?”
Gusti memegang jemari tangan gue, “Will you be my girl friend?”
Mata gue langsung membelolok menatapnya yang duduk disamping gue melihat lalu lalang kendaraan yang melintas dari trotoar di sebuh jalan di Kota ini.
“Kamu serius Gus?” gue menatap matanya dalam dalam. Seolah gue tak percaya dengan yang barusan dia katakan.
Dia berbalik menatapku dengan mata yang seolah meyakinkan gue kalu dia bersungguh-sungguh, “Kamu kira?”
“Gus sumpah aku ga nyangka.” Senyum mengembang dibibir gue menatap kesungguhannya yang terpancar dari mata sipitnya.
“Lalu?”
“Gusti, aku memang udah suka sama kamu dari  pertama kali kita ketemu di pensi malam itu. Dan benar aku menginginkan kamu.”
“Jadi? Kamu mau?”
“Ya iyalah Gusti. Aku nunggu kamu 6 bulan Gustiiiii.”
“Yakin nih?” Gusti tak kuasa menahan rasa malunya dengan menahan tawanya.
Gue bersandar dibahu sebelah kanannya dan berbisik, “Iya aku mau jadi pacar kamu.”
Biarkan malam Sabtu ini menjadi malam Sabtu yang tak pernah kita lupakan. Biarkan jalan di Kota ini menjadi sebuah tempat teromantis yang tak pernah kita lupakan. Biarkan bintang malam itu menjadi saksi awal hubungan kasih ini.
Hampir gue ga bisa tidur malam itu. Gue teringat pertama kita bertemu di acara pentas seni di kampusnya. Lalu kita dipertemukan oleh hujan disebuah party temen kita. Bahkan Tuhan memberikan sebuah moment yang tak pernah gue lupakan sampai saat ini. Sampai pada akhirnya gue bisa bersamanya. Bersama seorang lelaki tinggi, berkawat gigi ini.
 “Selamat pagi sayang.”
“Selamat pagi juga.” Terdengar suaranya yang gue tau pasti dia baru bangun tidur.
“Baru bangun kan kamu?”
“Iya. Eh ini ngga ngimpi kan ya kamu telfon akunya?”
“Ya ngga lah sayang. Ih aku baru pertama telepon cowok manggil sayang hlo.”
“La mantan-mantan kamu dulu kamu panggil apa?”
“Kamu pacar pertama aku sayang.”
Gusti meninggikan suaranya, “Apaaa?”
“Kamu ga tau ya? Udah sana mandi. Sarapan.”
“Iya sayang. Keluar yuk siang ini?”
“Ya udah. Bbm aja. Aku mandi dulu. Bye.” Telepon gue matiin.
Pukul sebelas lebih Gusti udah ada didepan rumah gue mengendarai motor putihnya dengan jacket Adidas hijau membungkus kulit putihnya.
“Masuk dulu sini.”
“Mamah, Papah kamu mana?”
Gue berjalan menuju dapur meninggalkan Gusti yang duduk diruang tamu, “Ibuk aku mau keluar sama temen aku. Ini hlo mau pamitan.”
Ibu gue keluar menghampiri Gusti, sedangkan ayah gue ada kerja bakti di lapangan perumahan. Gusti terlihat malu-malu mencium tangan ibu gue, “Tante, mau main dulu sama Renata sebentar.”
“Oh iya hati-hatiya. Mau kemana?”
“Paling makan sih tante.” Gusti menjawab pertanyaan nyokap gue sambil berjalan keluar pintu rumah gue bebarengan sama nyokap gue.
Gue yang saat itu mengenakan dress bunga-bunga sesuai perasaan gue yang berbunga-bunga memboncengnya dengan sedikit canggung. Entah mengapa gue mendadak canggung bareng dia.
“Ini kita mau kemana ya?”  Wayan membuka obrolan setelah beberapa menit kita diam sepanjang jalan.
“La tadi bilangnya makan?”
“Ya udah sih makan pizza aja ya?”
Dia menambahkan kecepatan motornya. Sontak gue memegang pinggangnya. Dan jantung gue berdetup semakin kencang. Perasaan kalau gue bonceng cowok lain rasanya enggak gini-gini amat. Ini rasa malu atau cinta atau apa? Setiap dekat dengannya jantung gue berdetak semakin kencang.
Setelah memesan menu yang kita mau, terjadi keheningan diantara kita berdua. Gue malu mau ngomong duluan. Gue juga gugup mau ngomong sama dia. Semua kegugupan gue, gue alihkan dengan menekan-nekan tombol blackberry gue. Padahal engga ada bbm. Cuman lihat recent update yang ada aja.
“Bbm sama siapa hayo?” suaranya mengejutkanku.
“Engga kok. Lihat recent update aja.”
“Oh ya, kamu bilang tadi pagi ditelepon kalo aku pacar pertama kamu?”
Wajahnya sedikit malu, gue matikan BB gue dan gue letakkan dimeja.
“Eh iya. Hehe kenapa?”
“Masak iya?”
“Kamu tu engga percayaan sih. Jujur nih aku sampek berdoa sungguh-sungguh sama Allah biar bisa punya kamu.”
Dia menekuk wajahnya. Gue tau dia malu. Muka putihnya berubah seperti tomat. Lucu.
Pesanan kita datang, “makasih.” Kataku kepada pelayan restaurant.
Gue beraniin suapin dia dengan sesendok ice cream strawberry yang gue pesen. Dia menerima suapan gue.
“Kamu suka ice cream strawberry ya?”
“Enggak. Aku suka coklat. Cuman kali ini aku mau pesen yang strawberry.”
Dia berbalik menyuapiku sesendok pasta yang dia pesan.
Kita melewati masa-masa pacaran kita hampir 2 tahun. Padahal dulu gue berharap miliki dia walau cuman 1 bulan. Ternyata Allah ngasih gue  waktu bersama dia lebih dari 1 tahun. Bahkan hampir 2 tahun. Guepun berjanji ga akan mutusin dia apapun yang terjadi. Selama pacaran ini, gue selalu mempersiapkan hati kalau suatu saat dia ingin mengakhiri hubungan ini.
Yang ada, selama ini malah justru dia selalu buat gue seneng. Bahkan sekarang ini gue takut dia ninggalin gue. Hal kecil yang biasa aja bisa dia buat luar biasa. Atau mungkin gue yang berlebihan?
Gue tau suara dia ga bagus. Tapi dia sering nyanyi buat gue.
Lagu rindu ini kuciptakan
Hanya untuk Bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada sederhana
Ijinkanku ungkap segenap rasa dan kerinduan
Walau suaranya ga semerdu Sammy, gue suka kok dengerin dia nyanyi. Walau dia enggak pinter main gitar, gue suka dengerin nada-nada petikan gitar yang dia mainkan. Pokoknya gue suka semua yang ada sama dia. Dia juga lucu. Dia pandai membuat lelucon. Atau kata-katanya yang nyleneh, yang asal ucap malah justru memperlihatkan sosoknya yang memang benar-benar konyol.
Dan satu lagi yang paling buat gue jatuh hati sama dia. Dia selalu ngingetin gue sholat. Ngingetin gue puasa. Padahal dia sendiri engga ngejalani semua itu. Kalau kita jalan di Mall atau kemana, dia mau nungguin gue shalat.
“Udah makan. Udah nonton. Udah waktunya shalat asar juga. Kamu sholat aku tungguin deh.”
“Iya iya. Berdoa dulu biar kamunya itu cepet taubat. Biar kamu mau kePura lagi. Sukanya kan kalo disuruh mamahmu ke Pura kamu malah kabur.”
Dia ketawa sambil mengacak-acak rambutku waktu kita jalan bareng di sebuah Mall.
Suatu hari dia datang kerumah buat ngajak gue keluar. Tapi kali ini bukan jalan-jalan, bukan nonton, bukan makan, bukan berenang. Dia ngajakin gue ke Pura. Sebuah Pura di Kota ini yang penduduknya mayoritas seorang muslim.
“Tumben kamu ngajaknya ke Pura. Alhamdulillah akhirnya sadar juga.” gue ketawa seneng.
Akhirnya dia ke Pura juga. Selama ini dia ke Pura kalau sama bonyoknya. Kalau sendiri atau sama gue enggak pernah. Kalau disuruh bonyoknya malah main.
“Aku mau berdoa semoga kitanya langgeng. Mau berterimakasih Tuhan udah kirimkan cewek cuek bebek kayak kamu.”
Gue kaget dia berkata seperti itu.
Kita masuk ke area Pura. Gue duduk dengan sabar menunggunya. Seperti dia sabar nungguin gue shalat. Gue lihat dia dengan khusyuknya berdoa. Menyatukan kedua telapak tanganya. Menyematkan bunga kamboja ditengah kedua telapak tangannya. Kemudian meletakkan tangannya diatas kepalanya.
“Kok tidak beribadah mbak?” Seorang datang menghampiri gue yang sedang terpaku melihat pacar gue beribadah. Seorang laki tua yang menggenakan pakaian putih-putih dan berikat kepala kain bewarna emas.
“Saya seorang muslim Pak.” Jawab gue lembut.
“Lalu mbak mengapa disini?”
“Saya menunggu pacar saya beribadah.”
Lelaki tua itu melihat kearah Gusti. “Bagaimana bisa seorang Hinduism berpacaran dengan seorang muslim?”
“Tuhan saya dan Tuhannya yang menyatukan kita.” aku tersenyum.
“Bagaimana jika kalian menikah nanti? Ini akan sulit.”
Gue terdiam. Gue lihat lelaki tua itu. Gue berpikir jauh kedepan. Terbayangkan akan ada banyak halangan nanti disana jika kita memang berjodoh dan menikah nantinya.
“Bagaimana caranya nanti Tuhan saya dan Tuhannya menyatukan kita.”
Gusti menghampiri kami. Lalu dia berpamitan kepada lelaki tua itu sebelum kami pergi. Gusti mengajak gue makan dulu sebelum mengantar gue balik kerumah.
“Tadi ngobrol apa aja sama bapak itu?”
“Dia tanya kok bisa seorang hindu berpacaran dengan seorang muslim. Katanya kalau nikah nanti akan banyak halangannya.” jawab gue datar.
“Nikah? Kok aku ga mikir sampe sana ya?” jawabnya dengan nada datar juga.
“Kita baru dua tahun jalan. Masak iya mau mikirin nikah? Aku aja baru kepikiran waktu bapaknya bilang tadi.” gue kunyah kentang goreng yang ada ditangan gue.
“Iya juga sih. Tapi bapak itu bener juga. Tapi ya udah lah. Kalau emang kitanya jodoh walau kita beda keyakinan, suatu saat kita akan bersatu.” jawab dia santai yang sedang memotong steak dipiringnya.
Gue ketawa denger jawabannya, “Tumben ngomongnya bijak.”
Dia juga ketawa menyadari omongannya yang bijak. Yang jarang sekali dia ucapkan.
Emang gue sadar dari awal pacaran kalau akan ada banyak halangan kalau suatu saat nanti kita akan mengikat ikrar dalam sebuah pernikahan. Memang kita berbeda. Tapi bukankah beda diciptakan Tuhan agar terlihat indah seperti warna-warna pelangi? Mungkin gue engga bisa mengajak Gusti sekeyakinan dengan gue, dan Gusti tidak akan pernah bisa mengajak gue sekeyakinan dengannya. Lalu bagaimana jika Tuhan gue atau Tuhannya memang mempersatukan kita dalam perbedaan keyakinan ini? Apa sepasang manusia yang berbeda tempat ibadah tidak boleh bersatu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar